Praktik pungutan liar (pungli) telah lama menjadi penyakit kronis dalam birokrasi Indonesia. Meskipun pemerintah telah meluncurkan berbagai gerakan reformasi, termasuk pembentukan Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli), fenomena Pungli di Pelayanan Publik tetap sulit diberantas hingga ke akar-akarnya. Pungli bukan sekadar tindakan korupsi kecil, tetapi juga merupakan hambatan serius bagi investasi, merusak kepercayaan masyarakat terhadap institusi negara, dan secara langsung melanggar prinsip keadilan sosial. Pertanyaannya, mengapa praktik haram ini begitu resisten terhadap upaya pemberantasan?
Salah satu alasan utama sulitnya memberantas Pungli di Pelayanan Publik adalah sifat kejahatan yang terstruktur dan terlembaga. Pungli seringkali bukan dilakukan oleh individu tunggal, melainkan merupakan “upah tak tertulis” yang telah menjadi bagian dari budaya kerja di unit-unit layanan tertentu, mulai dari pengurusan izin di tingkat daerah hingga pelayanan di kantor imigrasi. Pola ini membuat masyarakat menjadi pasrah karena mereka merasa pelayanan akan terhambat jika menolak memberi uang pelicin. Berdasarkan laporan Ombudsman Republik Indonesia (ORI) per semester I tahun 2025, sektor pelayanan perizinan dan pertanahan menyumbang 40% dari total aduan Pungli di Pelayanan Publik yang diterima. Adanya aduan ini menunjukkan bahwa sistem yang seharusnya menjadi solusi, justru menjadi celah bagi praktik pungli.
Faktor kedua yang mempersulit pemberantasan adalah minimnya transparansi dan lemahnya pengawasan internal. Banyak prosedur pelayanan publik yang masih rumit dan tidak terstandarisasi, menciptakan peluang bagi oknum petugas untuk ‘menjual’ percepatan atau kemudahan. Contohnya, pada operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan oleh Satgas Saber Pungli dan Kepolisian Sektor (Polsek) di sebuah Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil di salah satu kota besar pada Kamis, 3 Oktober 2025, ditemukan petugas yang memungut biaya sebesar Rp 100.000 untuk pengurusan Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang seharusnya gratis. Dalam OTT yang terjadi pada pukul 14.30 WIB tersebut, lima orang petugas diamankan dengan barang bukti uang tunai sebesar Rp 15 juta yang diduga hasil pungli harian.
Meskipun aparat penegak hukum bertindak tegas, pemberantasan tuntas memerlukan solusi yang lebih mendasar. Pemerintah perlu segera mengimplementasikan digitalisasi pelayanan publik secara menyeluruh dan menghilangkan interaksi tatap muka yang tidak perlu. Badan Kepegawaian Negara (BKN) juga harus memperketat mekanisme promosi dan rotasi petugas layanan untuk mencegah pembentukan vested interest atau kepentingan tersembunyi di unit-unit rawan pungli. Peningkatan sanksi etik dan pidana, serta jaminan perlindungan yang kuat bagi pelapor pungli, adalah kunci untuk mengubah budaya birokrasi dari extractive menjadi service-oriented. Tanpa langkah-langkah struktural yang tegas, praktik haram ini akan terus menjadi benalu yang menggerogoti kualitas pelayanan publik di Indonesia.

Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.